Professional Documents
Culture Documents
CIDERA KEPALA
timbul edema
G. PENATALAKSANAAN
• Secara umum pasien dengan cedera kepala harusnya
di rawat di RS untuk diobservasi.
• Pasien harus di rawat jika terdapat : penurunan
tingkat kesadaran, fraktur kranium, tanda neurologis
fokal.
• Cedera kepala ringan dapat ditangani hanya dengan
observasi neurologis, dan membersihkan atau
menjahit luka/laserasi kulit kepala.
• Untuk cedera kepala berat, tatalaksana spesialis
bedah saraf diperlukan setelah dilakukan
resusistasi : Bebaskan jalan napas, monitor kondisi
pernapasan, berikan oksigen jika perlu, periksa
AGD. Monitor TIK, atasi syok bila ada, kontrol TTV,
dan keseimbangan cairan dan elektrolit.
• Operasi (bedah) dilakukan pada pasien yang
mengalami cedera kepala berat, yaitu :
1) Bedah intrakranial dilakukan evakuasi bedah
saraf segera pada hematom yang mendesak ruang.
2) Bedah ekstrakranial inspeksi untuk komponen
fraktur kranium yang menekan pada laserasi kulit
kepala.
Jika ada, maka hal ini membutuhkan terapi bedah
segera dengan debridemen luka dan menaikkan
tulang untuk mencegah infeksi lanjut pada meningen
dan otak.
H. PENGOBATAN
• Diuretik Berikan bolus manitol (20%, 100 ml)
intravena jika terjadi PTIK. Hal ini dibutuhkan pada
tindakan darurat sebelum evakuasi hematom
intrakranial pada pasien dengan penurunan tingkat
kesadaran. Jika terjadi pembengkakkan otak tanpa
hematom yang jelas, maka mungkin membutuhkan
bolus berulang manitol dan hiperventilasi buatan
elektif dengan memantau TIK secara kontinu.
• Antibiotik profilaksis untuk fraktur basis kranii dan
luka laserasi yang besar.
• Antikonvulsan untuk mengatasi kejang (sedatif, dan
obat-obatan narkotik dikontraindikasikan, karena
dapat memperburuk penurunan kesadaran).
• Antagonis histamin : mencegah terjadinya iritasi
lambung karena hipersekresi akibat efek trauma
kepala misalnya dengan pemberian cimetidin,
ranitidin.
• Analgesik untuk mengurangi nyeri.
• Neuroprotektan mencegah dan memblok proses
yang menyebabkan kematian sel-sel terutama di
daerah penumbra.
Primary & secondary Survey dan
Resusitasi
• Pada setiap fraktur kepala harus selalu
diwaspadai adanya fraktur servikal. Cedera otak
sering diperburuk akibat cedera sekunder.
• Penderita CKB dengan hipotensi mempunyai
status mortalitas 2 kali lebih besar dibanding
dengan penderita CKB tanpa hipotensi (60% vs
27%), adanya hipotensi akan menyebabkan
kematian yang cepat. Oleh karena itu tindakan
stabilitas dan resusitasi kardiopulmonal harus
segera dilakukan.
Ada enam proses penanganan trauma yang dimulai
saat terjadi kasus dan kemajuan proses
perawatan kritis pasien :
1. Stabilisasi Pra RS – Saat kejadian trauma,
tindakan ABC diimplementasikan untuk
memastikan dan mempertahankan keefektifan
saluran pernapasan. Benda asing dikeluarkan
dari saluran pernapasan seperti muntahan,
penggumpalan darah, patah gigi, kotoran, dan
kerikil. Kontrol perdarahan hebat. Status
neurologi juga diobservasi seperti tingkat
kesadaran serta reaksi dan bentuk pupil.
• Selain itu, untuk mengantisipasi risiko cedera
spinal dan leher, perlu dilakukan imobilisasi baik
manual atau dengan gelang leher, dengan posisi
kepala, leher, dan tubuh sejajar dengan spina
board atau stretcher.
PERAWATAN KRITIS
• Pasien yang kritis dan mengalami masalah yang
serius setelah dioperasi perlu dipindahkan dari
UGDD ke ruang ICU untuk mendapatkan
perawatan yang intensif.
DIAGNOSA KEPERAWATAN DAN
RENCANA KEPERAWATAN
1. Risiko tidak efektifan jalan napas b.d obstruktif
jalan napas (trakea-bronkial) akibat penurunan
tingkat kesadaran.
Tujuan : Pasien dapat mempertahankan jalan napas
efektif dgn kriteria; jalan napas paten dengan bunyi
napas bersih/jelas (tidak ada stridor, ronki, mengi).
Menunjukkan perilaku untuk memperbaiki
bersihan jalan napas, mis; adana perubahan
peningkatan kesadaran, batuk efektif, dan dapat
mengeluarkan sekret.
Intervensi/rasional :
1) Auskultasi suara napas setiap 1-2 jam. Perhatikan
daerah hipoventilasi dan adanya suara-suara
tambahan yang abnormal (spt; gurgling, snowring,
ronki, stridor, mengi) untuk mengidentifikasi
obstruksi jalan napas yang membahayakan
oksigenisasi serebral, dan/atau terjadinya infeksi
paru akibat komplikasi cedera kepala.
2) Catat kompetensi refleks gag/menelan dan
kemampuan pasien untuk melindungi jalan napas
sendiri Refleks gag/menelan yang baik untuk
memelihara dan pembersihan jalan napas.
3) Lakukan pembebasan jalan napas; miringkan kepala jika
muntah. Pertahankan jalan napas secara manual (chin lift,
dan jaw thrust untuk cedera spinal). Lakukan suction jika
ada indikasi dan pasang sonde lambung agar muntahan
tidak masuk ke dalam jalan napas, dan mencegah aspirasi
paru.
4) Jika ventilasi tidak adekuat, maka berikan bantuan ventilasi
dengan cara melakukan tindakan : pemasangan ETT,
trakheostomy untuk membebaskan jalan napas agar
oksigen dapat masuk ke alam paru.
5) Pertahankan kepatenan jalan napas, lakukan suction jika
perlu. Berikan oksigen 100% sebelum suction (suction tidak
> 15 detik) untuk mempertahankan oksigenisasi yang
adekuat (suction dapat meningkatkan hipoksia yang
menimbulkan vasokontriksi shg pada akhirnya
mempengaruhi cukup besar perfusi jaringan serebral, dan
penghisapan dapat meningkatkan TIK).
2. Risiko pola napas tidak efektif b.d kerusakan neurovaskular
(cedera pada pusat pernapasan otak).
Tujuan : Pasien akan mempertahankan pola napas efektif
dengan kriteria; frekuensi napas 16-24 x/menit, irama
teratur, tidak ada sianosis, analisa gas darah dalam batas
normal.
Intervensi/rasional :
1) Kaji frekuensi, irama, kedalaman pernapasan setiap 1-2 jam.
Catat ketidakteraturan pernapasan untuk memantau
fungsi paru, dan mengidentifikasi kemungkinan adanya
komplikasi paru. Pernapasan lambat, dan adanya apneu
dapat menandakan perlunya ventilasi mekanis.
2) Beri posisi semifowler untuk memudahkan ekspansi
paru/ventilasi paru dan menurunkan adanya kemungkinan
lidah jatuh yang menyumbat jalan napas.
3) Pantau penggunaan obat-obatan yang dapat menimbulkan
depresi pernapasan dapat meningkatkan
gangguan/komplikasi pernapasan.
4) Kolaborasi : berikan oksigen sesuai program
memaksimalkan oksigen pada arteri dan membantu dalam
pencegahan hipoksia. Monitor AGD memantau kecukupan
pernapasan, keseimbangan asam-basa dan kebutuhan terapi.