You are on page 1of 42

ASUHAN KEPERAWATAN GAWAT DARURAT

CIDERA KEPALA

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN (STIKES)


MUHAMMADIYAH PRINGSEWU
PRODI S1 KEPERAWATAN
A. PENGERTIAN
Cedera kepala adalah suatu gangguan traumatik
dari fungsi otak yang disertai atau tanpa disertai
perdarahan interstisial dalam subtansi otak tanpa
diikuti terputusnya kontinuitas otak.
Cidera kepala adalah suatu trauma yang mengenai
kulit kepala, tulang tengkorak atau otak yang
terjadi akibat injury baik secara langsung maupun
tidak langsung pada kepala.
B. PENYEBAB
• Kecelakaan lalu lintas  60% cedera kepala yang
serius  terjadi kematian.
• Jatuh
• Trauma benda tumpul
• Kecelakaan rumah tangga
• Kecelakaan olah raga
• Trauma tembak dan pecahan bom
• Faktor yang berkontribusi terjadinya kecelakaan
seringkali adalah konsumsi alkohol dan obat
psikotropika.
MEKANISME CEDERA KEPALA
• Akselerasi  jika benda bergerak membentur
kepala yang diam
• Deselerasi  jika kepala bergerak membentur
benda yang diam
• Deformitas  perubahan atau kerusakan pada
bagian tubuh yang terjadi akibat trauma, mis;
adanya fraktur kepala, kompresi, ketegangan atau
pemotongan jaringan otak.
• Kup  mekanisme cidera kepala dapat
mengakibatkan kerusakan pada daerah dekat
benturan.
• Kontra kup  mekanisme cidera kepala dapat
mengakibatkan kerusakan pada daerah yang
berlawanan dengan benturan.
C. PATOFISIOLOGI
• Patofisiologi cedera kepala dapat digolongkan
menjadi 2 proses, yaitu :
1. Cedera kepala otak primer  suatu proses biomedik
yang dapat terjadi secara langsung saat kepala
terbentur dan memberi dampak cedera jaringan
otak.
2.Cedera kepala otak sekunder  terjadi akibat cedera
kepala primer misalnya adanya hipoksia, iskemia,
dan perdarahan.
Patoflow
Cedera kepala

menyebabkan fragmentasi jaringan, kontusio, merusak sawar darah


otak disertai vasodilatasi dan eksudat cairan

timbul edema

tekanan intra kranial meningkat

menurunkan aliran darah otak

iskemik, hipoksia, asidosis (pH menurun, PCO2 meningkat)

kerusakan sawar darah otak lebih lanjut

kematian sel dan edema bertambah secara progresif, kecuali bila


dilakukan intervensi.
• Perdarahan serebral menimbulkan hematoma,
misalnya :
1. Hematoma epidural  berkumpulnya darah di antara
lapisan perioteum tengkorak dengan duramater,
biasanya sumber perdarahannya adalah robeknya arteri
meningika media , vena diploica (oleh karena fraktur
kalvaria), vena emisaria, dan sinus venosus duralis.
2. Hematoma subdural  berkumpulnya darah pada ruang
antara duramater dengan subaraknoid, akibat pecahnya
pembuluh darah vena yang biasanya terdapat diantara
duramater, perdarahan lambat dan sedikit.
3. Hematoma intraserebral  berkumpulnya darah pada
jaringan otak (serebral), biasanya akibat robekan
pembuluh darah yang ada dalam jaringan otak.
Berdasarkan berat ringannya cedera kepala dibagi
menjadi :
a. Cedera Kepala Ringan (CKR) : GCS 13-15, dapat
terjadi kehilangan kesadaran < 30 menit, tidak
terdapat fraktur tengkorak, kontusio, atau
hematom.
b. Cedera Kepala Sedang (CKS) : GCS 9-12, hilang
kesadaran 30 mnt – 24 jam, dapat disertai fraktur
tengkorak, disorientasi ringan.
c. Cedera Kepala Berat (CKB) : GCS 3-8, hilang
kesadaran > 24 jam, biasanya disertai kontusio,
laserasi, atau adanya hematom, dan edema
serebral.
Berdasarkan kerusakan jaringan otak :
a. Komosio serebri (gegar otak) : gangguan fungsi
neurologik ringan tanpa adanya kerusakan struktur
otak, terjadi hilangnya kesadaran < 10 menit atau
tanpa disertai amnesia retrograde, mual, muntah,
nyeri kepala.
b. Kontusio serebri (memar) : gangguan fungsi
neurologik disertai kerusakan jaringan otak tetapi
kontinuitas otak masih utuh, hilangnya kesadaran >
10 menit.
c. Laserasi serebri : gangguan fungsi neurologik disertai
kerusakan otak yang berat dengan fraktur tengkorak
terbuka. Massa otak terkelupas ke luar dari rongga
intrakranial.
D. TANDA DAN GEJALA
Secara umum tanda dan gejala cedera kepala meliputi
ada atau tidaknya :
1. Fraktur tengkorak
Fraktur tengkorak dapat melukai pembuluh darah
dan saraf-saraf otak, merobek duramater yang
mengakibatkan perembesan CSS.
Jika terjadi fraktur tengkorak maka kemungkinan
yang terjadi adalah:
• Keluarnya CSS atau cairan lain dari hidung
(rinorea), dan telingan (otorea).
• Kerusakan saraf kranial
• Perdarahan dibelakang membran timpani
• Ekimosis
Jika terjadi fraktur basiler, maka kemungkinan terjadi
gangguan pada saraf kranial, dan kerusakan bagian
dalam telinga sehingga terdapat tanda dan gejala :
• Perubahan ketajaman penglihatan karena kerusakan
nervus optikus.
• Kehilangan pendengaran karena kerusakan pada
nervus audiotorius.
• Dilatasi pupil dan hilangnya kemampuan pergerakan
beberapa otot mata karena kerusakan nervus
okulomotorius.
• Paresis wajah karena kerusakan nervus fasialis.
• Vertigo karena kerusakan otolith dalam telinga
bagian dalam.
• Nistagmus karena kerusakan pada sistem vestibular.
• Warna kebiruan di belakang telinga di atas mastoid
(battle sign).
2. Kesadaran
Tingkat kesadaran tergantung dari berat ringannya
cedera kepala, ada atau tidaknya amnesia
retrograde, mual, dan muntah.
3. Kerusakan jaringan otak
Manifestasi kerusakan jaringan otak bervariasi
tergantung dari cedera kepala. Untuk melihat
adanya kerusakan cedera kepala perlu dilakukan
pemeriksaan CT Scan atau MRI.
Ekimosis kelopak mata
Perdarahan hidung (Rhinorea) dan telinga (Otorea)
Raccon Eyes dan Battle sign
Fraktur Kranial
E. KOMPLIKASI
• Gejala sisa cedera kepala berat  beberapa pasien
dapat mengalami ketidakmampuan baik secara fisik
(disfagia, hemiparesis, palsi saraf kranial), dan
mental (gangguan kognitif, perubahan kepribadian)
• Edema pulmonal
• Kebocoran CSS
• Epilepsi pasca trauma
• Sindroma pasca trauma
• Hematome subdural kronik
F. PEMERIKSAAN PENUNJANG
• Foto tengkorak (kranium) untuk mengetahui adanya
fraktur.
• CT Scan  segera dilakukan jika terjadi penurunan
tingkat kesadaran atau jika terdapat fraktur kranium
yang disertai kebingungan, kejang, atau tanda
neurologis fokal. Pada hasil CT Scan didapatkan
adanya area hiperdens (area perdarahan).

G. PENATALAKSANAAN
• Secara umum pasien dengan cedera kepala harusnya
di rawat di RS untuk diobservasi.
• Pasien harus di rawat jika terdapat : penurunan
tingkat kesadaran, fraktur kranium, tanda neurologis
fokal.
• Cedera kepala ringan dapat ditangani hanya dengan
observasi neurologis, dan membersihkan atau
menjahit luka/laserasi kulit kepala.
• Untuk cedera kepala berat, tatalaksana spesialis
bedah saraf diperlukan setelah dilakukan
resusistasi : Bebaskan jalan napas, monitor kondisi
pernapasan, berikan oksigen jika perlu, periksa
AGD. Monitor TIK, atasi syok bila ada, kontrol TTV,
dan keseimbangan cairan dan elektrolit.
• Operasi (bedah) dilakukan pada pasien yang
mengalami cedera kepala berat, yaitu :
1) Bedah intrakranial  dilakukan evakuasi bedah
saraf segera pada hematom yang mendesak ruang.
2) Bedah ekstrakranial  inspeksi untuk komponen
fraktur kranium yang menekan pada laserasi kulit
kepala.
Jika ada, maka hal ini membutuhkan terapi bedah
segera dengan debridemen luka dan menaikkan
tulang untuk mencegah infeksi lanjut pada meningen
dan otak.
H. PENGOBATAN
• Diuretik  Berikan bolus manitol (20%, 100 ml)
intravena jika terjadi PTIK. Hal ini dibutuhkan pada
tindakan darurat sebelum evakuasi hematom
intrakranial pada pasien dengan penurunan tingkat
kesadaran. Jika terjadi pembengkakkan otak tanpa
hematom yang jelas, maka mungkin membutuhkan
bolus berulang manitol dan hiperventilasi buatan
elektif dengan memantau TIK secara kontinu.
• Antibiotik profilaksis untuk fraktur basis kranii dan
luka laserasi yang besar.
• Antikonvulsan untuk mengatasi kejang (sedatif, dan
obat-obatan narkotik dikontraindikasikan, karena
dapat memperburuk penurunan kesadaran).
• Antagonis histamin : mencegah terjadinya iritasi
lambung karena hipersekresi akibat efek trauma
kepala misalnya dengan pemberian cimetidin,
ranitidin.
• Analgesik untuk mengurangi nyeri.
• Neuroprotektan mencegah dan memblok proses
yang menyebabkan kematian sel-sel terutama di
daerah penumbra.
Primary & secondary Survey dan
Resusitasi
• Pada setiap fraktur kepala harus selalu
diwaspadai adanya fraktur servikal. Cedera otak
sering diperburuk akibat cedera sekunder.
• Penderita CKB dengan hipotensi mempunyai
status mortalitas 2 kali lebih besar dibanding
dengan penderita CKB tanpa hipotensi (60% vs
27%), adanya hipotensi akan menyebabkan
kematian yang cepat. Oleh karena itu tindakan
stabilitas dan resusitasi kardiopulmonal harus
segera dilakukan.
Ada enam proses penanganan trauma yang dimulai
saat terjadi kasus dan kemajuan proses
perawatan kritis pasien :
1. Stabilisasi Pra RS – Saat kejadian trauma,
tindakan ABC diimplementasikan untuk
memastikan dan mempertahankan keefektifan
saluran pernapasan. Benda asing dikeluarkan
dari saluran pernapasan seperti muntahan,
penggumpalan darah, patah gigi, kotoran, dan
kerikil. Kontrol perdarahan hebat. Status
neurologi juga diobservasi seperti tingkat
kesadaran serta reaksi dan bentuk pupil.
• Selain itu, untuk mengantisipasi risiko cedera
spinal dan leher, perlu dilakukan imobilisasi baik
manual atau dengan gelang leher, dengan posisi
kepala, leher, dan tubuh sejajar dengan spina
board atau stretcher.

Cedera spinal diatas C5 menyebabkan kelumpuhan


diafragma dan saraf vagus. Akibatya adalah kegagalan
napas karena saluran pernapasan dan pola pertukaran
gas pasien akan terganggu. Pasien membutuhkan
bantuan ventilator.
2.Resusitasi RS – Ketika pasien sampai di ruang
gawat darurat, pendekatan sistematis dan
terorganisir diimplementasikan untuk
menyelamatkan pasien yang terancam jiwanya.
Dua survai penanganan pasien dilakukan
bersama dengan tim kesehatan lain dan proses
penanganan pasien selanjutnya tidak dilakukan
hingga kondisi pasien stabil. Survai pertama
disebut survai primer.
3.Survei primer – Ada 5 tahap dalam
penatalaksanaan ini, yaitu : ABCDE.
Airway dan Breathing
• Terhentinya pernapasan sementara dapat terjadi pada
penderita CKB dan mengakibatkan gangguan sekunder.
• Intubasi Endotrakeal (ETT)/Laringeal Mask Airway (LMA)
harus segera dipasang pada penderita CKB yang koma,
dilakukan ventilasi dan oksigenasi 100% dan pemasangan
pulse oksimetri (monitor saturasi oksigen).
• Tindakan hiperventilasi harus hati-hati pada penderita CKB
yang menunjukkan perburukan neurologis akut.
• Gangguan airway dan breathing sangat berbahaya pada
cedera kepala karena akan menimbulkan hipoksia atau
hiperkarbia yang kemudian akan menyebabkan kerusakan
otak sekunder.
• Oksigen selalu diberikan dan bila pernapasan meragukan,
lebih baik memulai dengan ventilasi tambahan.
Circulation
• Hipotensi biasanya disebabkan oleh cedera otak itu
sendiri, kecuali pada stadium terminal yaitu bila
medula oblongata mengalami gangguan.
• Perdarahan intraserebral tidak dapat menyebabkan
syok hemoragia pada CKB, pada penderita dengan
hipotensi harus segera dilakukan stabilitas dan
resusitasi untuk mencapai euvolemia.
• Hipotensi merupakan tanda klinis kehilangan darah
yang cukup hebat, walaupun tidak selalu tampak jelas.
Harus juga dicurigai kemungkinan penyebab syok lain
seperti syok neurologis (trauma medula spinalis),
kontosio jantung, atau tamponade jantung dan tension
pneumotorak.
• Penderita hipotensi yang tidak dapat bereaksi
terhadap stimulus apapun dapat memberi
respon normal segera setelah tekanan darah
normal.
• Gangguan sirkulasi (syok) akan menyebabkan
gangguan perfusi darah ke otak yang akan
menyebabkan kerusakan otak sekunder.
Dengan demikian cedera kepala harus
dilakukan penanganan dengan agresif.
DISABILITY
• Pemeriksaan neurologis harus segera dilakukan
segera setelah status kardiopulmonal stabil.
• Pemeriksaan ini terdiri dari : pemeriksaan
kesadaran dengan GCS, reflek cahaya dan pupil.
• Pada penderita koma respon motorik dapat
dilakukan dengan merangsang/mencubit otot
trapezius atau menekan kuku penderita.
• Selama primary survey pemakaian obat-obatan
paralisis jangka panjang tidak dianjurkan, bila
diperlukan analgesik sebaiknya morfin dosis kecil
dan diberikan secara intravena.
• Pemeriksaan neurologis serial (GCS, lateralisasi dan
reflek pupil) harus segera dilakukan untuk deteksi
dini gangguan neurologis.
• Tanda awal dari hernia lobus temporal adalah
dilatasi pupil dan hilangnya reflek pupil terhadap
cahaya.
• Adanya trauma langsung pada mata sering
merupakan penyebab abnormalitas respon pupil
dan menyebabkan pemeriksaan pupil mata menjadi
sulit, namun tetap harus dipikirkan adanya trauma
kepala pada penderita CKB.
Ingat : Selalu upayakan untuk mencegah kerusakan
otak sekunder !
Exposure (paparan)
• Pasien dibuka bajunya dan diperiksa tiap
bagian tubuhnya untuk mengetahui cedera
tambahan. Jaga privacy pasien, jaga
kehangatan tubuh pasien dengan selimut/baju
jika tersedia.
• Bukti legal perlu diperiksa seperti peluru,
obat, atau senjata. Berusahalah untuk tidak
menghilangkan bukti.
Secondary Survey
• Kaji mulai dari kepala hingga kaki.
• Perlu dilakukan teknik log roll dari satu sisi ke sisi
yang lain untuk mengamati bagian bawah tubuh
yang mengalami cedera, nyeri, perubahan bentuk
(deformitas).
• Kaji riwayat kesehatan yang detail untuk
tambahan informasi yang berasal dari keluarga
dan tim spt trauma yang spesifik, riwayat
kesehatan, obat, dan alkohol.
• Pemeriksaan diagnostik; rontgen, CT Scan, EKG,
Hb, Ht, dan kimia darah, serta AGD.
PERAWATAN DEFINITIF
• Cedera spesifik erlu ditangani dengan operasi,
penjahitan luka, pemasangan kawat di dagu,
penanganan fraktur, pemasangan gips.

PERAWATAN KRITIS
• Pasien yang kritis dan mengalami masalah yang
serius setelah dioperasi perlu dipindahkan dari
UGDD ke ruang ICU untuk mendapatkan
perawatan yang intensif.
DIAGNOSA KEPERAWATAN DAN
RENCANA KEPERAWATAN
1. Risiko tidak efektifan jalan napas b.d obstruktif
jalan napas (trakea-bronkial) akibat penurunan
tingkat kesadaran.
Tujuan : Pasien dapat mempertahankan jalan napas
efektif dgn kriteria; jalan napas paten dengan bunyi
napas bersih/jelas (tidak ada stridor, ronki, mengi).
Menunjukkan perilaku untuk memperbaiki
bersihan jalan napas, mis; adana perubahan
peningkatan kesadaran, batuk efektif, dan dapat
mengeluarkan sekret.
Intervensi/rasional :
1) Auskultasi suara napas setiap 1-2 jam. Perhatikan
daerah hipoventilasi dan adanya suara-suara
tambahan yang abnormal (spt; gurgling, snowring,
ronki, stridor, mengi)  untuk mengidentifikasi
obstruksi jalan napas yang membahayakan
oksigenisasi serebral, dan/atau terjadinya infeksi
paru akibat komplikasi cedera kepala.
2) Catat kompetensi refleks gag/menelan dan
kemampuan pasien untuk melindungi jalan napas
sendiri  Refleks gag/menelan yang baik untuk
memelihara dan pembersihan jalan napas.
3) Lakukan pembebasan jalan napas; miringkan kepala jika
muntah. Pertahankan jalan napas secara manual (chin lift,
dan jaw thrust untuk cedera spinal). Lakukan suction jika
ada indikasi dan pasang sonde lambung  agar muntahan
tidak masuk ke dalam jalan napas, dan mencegah aspirasi
paru.
4) Jika ventilasi tidak adekuat, maka berikan bantuan ventilasi
dengan cara melakukan tindakan : pemasangan ETT,
trakheostomy  untuk membebaskan jalan napas agar
oksigen dapat masuk ke alam paru.
5) Pertahankan kepatenan jalan napas, lakukan suction jika
perlu. Berikan oksigen 100% sebelum suction (suction tidak
> 15 detik)  untuk mempertahankan oksigenisasi yang
adekuat (suction dapat meningkatkan hipoksia yang
menimbulkan vasokontriksi shg pada akhirnya
mempengaruhi cukup besar perfusi jaringan serebral, dan
penghisapan dapat meningkatkan TIK).
2. Risiko pola napas tidak efektif b.d kerusakan neurovaskular
(cedera pada pusat pernapasan otak).
Tujuan : Pasien akan mempertahankan pola napas efektif
dengan kriteria; frekuensi napas 16-24 x/menit, irama
teratur, tidak ada sianosis, analisa gas darah dalam batas
normal.
Intervensi/rasional :
1) Kaji frekuensi, irama, kedalaman pernapasan setiap 1-2 jam.
Catat ketidakteraturan pernapasan  untuk memantau
fungsi paru, dan mengidentifikasi kemungkinan adanya
komplikasi paru. Pernapasan lambat, dan adanya apneu
dapat menandakan perlunya ventilasi mekanis.
2) Beri posisi semifowler  untuk memudahkan ekspansi
paru/ventilasi paru dan menurunkan adanya kemungkinan
lidah jatuh yang menyumbat jalan napas.
3) Pantau penggunaan obat-obatan yang dapat menimbulkan
depresi pernapasan  dapat meningkatkan
gangguan/komplikasi pernapasan.
4) Kolaborasi : berikan oksigen sesuai program 
memaksimalkan oksigen pada arteri dan membantu dalam
pencegahan hipoksia. Monitor AGD  memantau kecukupan
pernapasan, keseimbangan asam-basa dan kebutuhan terapi.

3. Ketidakefektifan perfusi jaringan serebral b.d kerusakan aliran


darah otak (hemoragia, hematome), edema serebral.
Tujuan : pasien akan mempertahankan perfusi jaringan
serebral dengan kriteria; adanya perbaikan/pemulihan tingkat
kesadaran, kognitif, motorik/sensorik. Tanda-tanda vital stabil,
dan tidak ditemukan tanda-tanda TIK meningkat.
Intervensi/rasional :
1) Kaji status neurologik; tk. Kesadaran (bandingkan dengan
nilai GCS normal), saraf kranial, motorik-sensorik secara
teratur  untuk menilai fungsi serebral, saraf kranial,
serebelum, sensorik-motorik.
2) Monitor TTV setiap jam  adanya perubahan tanda vital,
spt; pernapasan menunjukkan kerusakan pada batang otak.
Kolaborasi :
3) Tinggikan kepala 15-45° dengan posisi leher tidak menekuk
 meningkatkan aliran balik vena dari kepala shg akan
mengurangi konngesti dan edema atau resiko terjadinya
PTIK.
4) Berikan obat-obatan :
• Diuretik (manitol 20%, furosemide)  mengurangi edema
otak.
• Neuroprotektan (piracetam, nicolin, citicolin)  mencegah
kerusakan sel-sel otak lebih lanjut dan meningkatkan perfusi
jaringan otak.
• Konsultasikan dengan ahli bedah saraf  kemungkinan ada
indikasi operasi.
• Analgesik sedang  menurunkan nyeri
• Antipiretik (asetaminofen)  menurunkan atau
mengendalikan demam
Lakukan pemeriksaan diagnostik :
• Foto kepala, CT Scan atau MRI, jika ada indikasi  u/
mengetahui adanya fraktur, edema serebral, atau herniasi
otak.
• Periksa darah : Hb, Ht, trombosit, dan elektrolit
• Periksa urine : penggunaan obat terlarang atau alkohol.
Kolaborasi dengan dokter bedah saraf untuk dilakukan
pembedahan intrakranial atau ekstrakranial.

You might also like