profesionalisme keperawatan. Caring merupakan fenomena universal yang berkaitan dengan cara seseorang berpikir, berperasaan dan bersikap ketika berhubungan dengan orang lain. Caring dalam keperawatan dipelajari dari berbagai macam filosofi dan perspektif etik . • Caring sebagai suatu moral imperative (bentuk moral) sehingga perawat harus terdiri dari orang-orang yang bermoral baik dan memiliki kepedulian terhadap kesehatan pasien, yang mempertahankan martabat dan menghargai pasien sebagai seorang manusia, bukan malah melakukan tindakan amoral pada saat melakukan tugas pendampingan perawatan. • Caring juga sebagai suatu affect yang digambarkan sebagai suatu emosi, perasaan belas kasih atau empati terhadap pasien yang mendorong perawat untuk memberikan asuhan keperawatan bagi pasien. Dengan demikian perasaan tersebut harus ada dalam diri setiap perawat supaya mereka bisa merawat pasien . • Marriner dan Tomey (1994) menyatakan bahwa caring merupakan pengetahuan kemanusiaan, inti dari praktik keperawatan yang bersifat etik dan filosofikal. Caring bukan semata-mata perilaku. Caring adalah cara yang memiliki makna dan memotivasi tindakan. • Dalam memberikan asuhan, perawat menggunakan keahlian, kata-kata yang lemah lembut, sentuhan, memberikan harapan, selalu berada disamping klien, dan bersikap caring sebagai media pemberi asuhan (Curruth, Steele, Moffet, Rehmeyer, Cooper, & Burroughs, 1999). Para perawat dapat diminta untuk merawat, namun tidak dapat diperintah untuk memberikan asuhan dengan menggunakan spirit caring . • Spirit caring seyogyanya harus tumbuh dari dalam diri perawat dan berasal dari hati perawat yang terdalam. Spirit caring bukan hanya memperlihatkan apa yang dikerjakan perawat yang bersifat tindakan fisik, tetapi juga mencerminkan siapa dia. Oleh karenanya, setiap perawat dapat memperlihatkan cara yang berbeda ketika memberikan asuhan kepada klien . • Karsinah (dalam Wirawan, 1998) perawat adalah salah satu unsur vital dalam rumah sakit. Perawat, dokter, dan pasien merupakan satu kesatuan yang saling membutuhkan dan tidak dapat dipisahkan. Tanpa perawat tugas dokter akan semakin berat dalam menangani pasien. Tanpa perawat pelayanan kepada pasien juga terabaikan karena perawat adalah penjalin kontak pertama dan terlama dengan pasien mengingat pelayanan keperawatan berlangsung terus menerus selama 24 jam sehari. Soegiarto (1999) menyebutkan lima aspek yang harus dimiliki jasa pelayanan, yaitu : • Cepat, waktu yang digunakan dalam melayani tamu minimal sama dengan batas waktu standar. Merupakan batas waktu kunjung dirumah sakit yang sudah ditentukan waktunya. • Tepat, kecepatan tanpa ketepatan dalam bekerja tidak menjamin kepuasan konsumen. Bagaimana perawat dalam memberikan pelayanan kepada pasien yaitu tepat memberikan bantuan dengan keluhan-keluhan dari pasien. • Aman, rasa aman meliputi aman secara fisik dan psikis selama pengkonsumsian suatu poduk atau. Dalam memberikan pelayanan jasa yaitu memperhatikan keamanan pasien dan memberikan keyakinan dan kepercayaan kepada pasien sehingga memberikan rasa aman kepada pasien. • Ramah tamah, menghargai dan menghormati konsumen, bahkan pada saat pelanggan menyampaikan keluhan. Perawat selalu ramah dalam menerima keluhan tanpa emosi yang tinggi sehingga pasien akan merasa senang dan menyukai pelayanan dari perawat. • Nyaman, rasa nyaman timbul jika seseorang merasa diterima apa adanya. Pasien yang membutuhkan kenyaman baik dari ruang rawat inap maupun situasi dan kondisi yang nyaman sehingga pasien akan merasakan kenyamanan dalam proses penyembuhannya. (http://ruanghati.com/2009/06/09/rumah-sakit- omni-international-itu-pun-kini-menjadi-sepi/) • Kasus Prita Mulyasari (32) yang tidak puas dengan pelayanan di RS Omni Tangeran. Ia menulis email tentang pelayanan di RS omni yang tidak memuaskan, tetapi RS membawa Prita ke jalur hukum dan langsung ditahan. Sejak kasus itu muncul suasana RS omni sekarang semakin sepi dan lengang. Pantauan di lokasi tidak banyak aktivitas di dalam RS omni, ruangan megah itu terlihat lapang karena yang ada hanya pelayanan administrasi dan pelayanan farmasi http:/haryono,multiply,com/journal/item/165 • RS Tria Dipa Jakarta seorang pasien mengatakan tidak puas dengan pelayanan yang ada. Kejadian ini bermula saat membawa bapaknya di UGD RS Tria Dipa karena tidak bisa buang air besar selama tiga hari yang tidak segera dilayani dan merasa disepelekan oleh petugas UGD dengan berbagai alasan. Mereka malah menyuruh mengurus administrasi dengan sikap yang tidak bersahabat. Akhirnya pasien tadi meninggal dunia • Kekecewaan kami dimulai sejak membawa bapak ke bagian UGD RS Tria Dipa, sehari sebelum beliau meninggal. Bapak kami yang sudah sangat kesakitan karena tidak bisa (maaf) buang air besar selama tiga hari tidak segera langsung dilayani (disepelekan) oleh petugas UGD. Alasan suster, dokternya sedang salat. Oke, akhirnya bapak kami menunggu tanpa menerima pertolongan pertama apapun dari suster UGD. Mereka malah lebih sibuk menyuruh keluarga pasien untuk menyelesaikan urusan administrasi terlebih dulu dengan sikap yang sangat tidak bersahabat. • Bahkan, saat keluarga minta tolong agar salah satu dari mereka bisa menyampaikan kepada dokter yang sedang sholat itu tentang keadaan Bapak yang tergolong kritis (itulah mengapa kami membawanya ke UGD) mereka malah balik membentak keluarga dengan mengatakan "nanti juga dokternya datang sendiri, sabar aja kenapa!" dan mereka malah asik mengobrol soal rencana buka puasa mereka nanti. Saat itu kami masih mengelus dada dan mencoba bersabar diri, apalagi saat itu kami masih berpuasa. • Setelah menunggu hampir setengah jam tanpa pertolongan, bapak kami akhirnya masuk ruang UGD, dan dugaan kami betul, penyakit yang dialami Bapak sudah tergolong gawat, sehingga saat itu juga bapak harus dirawat inap. • Tapi, kekecewaan kami berubah menjadi marah karena RS Tria Dipa kami anggap tidak serius melayani pasiennya. Itu terbukti dari padamnya listrik rumah sakit. Ini fatal! Setidaknya tiga kali bapak kami mengalami listrik padam di RS, yakni dua kali ketika dirawat di ruang rawat inap, dan satu kali ketika bapak sedang mendapat perawatan di ruang ICU, keesokan harinya. • Kami sekeluarga heran, kenapa rumah sakit sebesar Tria Dipa tidak memperhatikan masalah seperti ini, padahal kelangsungan hidup bapak (yang saat di ICU sudah koma), 100% ditunjang oleh alat-alat kedokteran yang menggunakan listrik. Yang membuat kami lebih kecewa, ternyata padam listrik bukan karena kesalahan PLN, tapi karena faktor internal RS. MCB RS berulang kali turun (karena tak kuat daya). Apalagi belakangan kami tahu ternyata genset (sumber listrik cadangan) RS ternyata tak berfungsi otomatis, karena Accu-nya soak dan belum diperbaiki. • Di ruang ICU, keluarga langsung panik karena melihat semua alat yang menempel di tubuh bapak saya mendadak tak berfungsi semua lantaran listrik mati hingga 20 menitan. Dua orang suster yang bertugas juga bukannya menenangkan keluarga, malah ikutan panik dan menunjukkan sikap tak bersahabat. Bahkan, ketika kami mengatakan akan mengajukan komplain, oknum perawat bernama suster Erni (kami ingat betul nama dan wajah suster ini), dengan arogan menjawab "Silahkan saja complain, kami malah senang, dan kami tunggu complainnya." Kami akhirnya cuma bisa lemas, tak tahu mesti berbuat apa. • Sekitar enam jam setelah peristiwa itu Bapak kami akhirnya meninggal. • Kami mengerti betul bahwa umur ditentukan sepenuhnya oleh kuasa Allah SWT. Namun, kiranya anda para dokter, suster, perawat, dan petugas medislah yang mampu menjadi perantara pertolongan Allah SWT tersebut, bisa lebih berempati dan menunjukkan sikap yang profesional baik kepada pasien dan keluarga pasien http://www.wartabromo.com/2014/10/27/ke cewa-sikap-tak-ramah-perawat-rsud-bangil/ • Disaat pemerintah menggalakan moto pelayanan prima, justru kabar tak sedap datang dari Rumah Sakit Umum Daerah Bangil Pasuruan. Pasalnya rumah sakit milik pemerintah daerah Kabupaten Pasuruan ini dianggap tidak memperhatikan kebutuhan warga miskin serta semena-mena terhadap pasien. Hal itu dialami Siswoyo (34) keluarga pasien ketika mengurus pengobatan di RSUD Bangil. Kepada wartawan Siswoyo mengungkapkan, pengalaman pahitnya, ketika Ibu kandungnya Tiamah (76) warga Dusun Wonolilo Desa Wonosari Kecamatan Gempol sedang menjalani pengobatan di rumah sakit setempat. Dikatakannya, pada hari Minggu (19/10/2014) Tiamah menderita penyakit batu ginjal dan menjalani perawatan di ruang Anggrek no. 8 (ruang kelas satu). Selama perawatan, pelayanan diterima seperti biasa. Namun, setelah menjalani perawatan selama hampir satu minggu, pihak keluarga memutuskan untuk membawa pulang dan memilih rawat jalan. Pada hari Jumat, (24/10/2014), sekira pukul 13.30 wib Siswoyo pun menyelesaikan seluruh pembayaran administrasi biaya rawat inap dan pengobatan. Setelah pembayaran selesai Siswoyo dibantu Istrinya bermaksud membawa pulang Tiamah, namun karena kondisi Tiamah lemah, Siswoyo menyuruh istrinya untuk meminjam tempat troli pasien kepada perawat. • “Istri saya tak suruh minta bantuan perawat dan pinjam tempat tidur (troli) buat bawa ibu saya ke tempat parkir” cerita Siswoyo. Namun para perawat yang sedang jaga kala itu justru tidak merespon atau pun melakukan tindakan. Setelah menunggu sekitar 30 menit, baik perawat maupun troli yang ditunggu tidak juga datang, sehingga Siswoyo memutuskan untuk membawa ibunya keluar ruangan dengan cara menggendong. Didorong rasa kesal, sewaktu keluar dari ruang perawatan, dengan menggendong ibunya, dihadapan para perawat Siwoyo berkata, “Begini ya pelayanan RSUD” terang Siswoyo. • Sesampainya diparkiran, pasien Tiamah mengalami droop, sehingga diputuskan untuk ke IGD. “Sampai dimobil ibu saya droop, mungkin saja kecapean karena kugendong” ucap Siswoyo. Diliputi perasaan kecewa atas pelayanan RSUD, diruang IGD Siswoyo menyampaikan maksudnya bahwa ibunya akan dipindah ke RS swasta. “Saya sampaikan maksud pindah rumah sakit, eee malah mereka (perawat) meninggalkan ibu saya dan ada yang bilang, silahkan” pungkas Siswoyo. Sambil mengelus dada, Siswoyo mengaku sangat kecewa. Menurutnya, sangat ironi apabila pelayanan di ruang kelas I RSUD Bangil tidak maksimal, bagaimana dengan pelayanan pasien yang dikelas 2-3 atau pasien BPJS?