You are on page 1of 25

ANALISA KASUS KORUPSI

MUHAMMAD NAZARUDDIN
AY U N I A’ IZ AT U L A . P 1 3 37420516005 F I T RI S U L I S T I O R. P 1 3 3 7420516027
A MA L I N A’IZA ZI P 1 3 37420516010 A D H I T YA BA N G U N J . H P 1 3 3 7420516033
S I W I P RI H A N D INI P 1 3 37420516014 H U K A MA I N TA N U . P 1 3 3 7420516034
A F RI Z A F I T RI A D . P 1 3 37420516019 CE A S A R CA S T RO A RD I P 1 3 3 7420516038
S A FA RE S MI TA P 1 3 37420516023 U L FA N A F I ’AT UZ Z AK IYAH P 1 3 37420516041
G ATO T K A CA 1
KASUS
Muhammad Nazaruddin, bertemu Angelina Sondakh untuk memperkenalkan Mindo Rosalina Manulang (Marketing
PT. Anak Negeri). agar Mindo Rosalina difasilitasi untuk mendapatkan proyek-proyek di Kemenpora. Lalu Nazaruddin
bersama dengan Mindo Rosalina bertemu dengan Wafid Muharam (Sesmenpora) untuk meminta Wafid Muharam agar
difasilitasi untuk mendapatkan proyek pembangunan Wisma Atlet, dan merekomendasikan PT. DGI Tbk sebagai perusahaan
yang akan mengerjakan proyek tersebut. Atas permintaan tersebut, Wafid Muharam bersedia melaksanakannya asalkan
pimpinan dan teman-teman DPR menyetujui. Mindo Rosalina dan Muhammad El Idris (Manajer Marketing PT.DGI)
melakukan pertemuan dengan Rizal Abdullah (Ketua Komite Pembangunan Wisma Atlet Palembang Sunsel) meminta supaya
PT. DGI yang mengerjakan pembangunan proyek tersebut. Pada tanggal 16 Agustus 2010, di kantor Kemenpora, saat
pengurusan perjanjian kerja sama (MoU) antara Kemenpora dengan Komite Pembangunan Wisma Atlet Provinsi Sumsel
sebesar Rp.199,6 miliar, Wafid Muharam meminta Rizal Abdullah agar PT.DGI dibantu supaya menjadi pelaksana pekerjaan
dalam proyek tersebut. Mohamad El Idris bersama Wawan Karmawan beberapa kali melakukan pertemuan dengan Rizal
Abdullah dan M. Arifin (ketua Panitia Pelelangan Pengadaan Barang/Jasa Kegiatan Pembangunan Wisma Atlet di Palembang
Sumsel) untuk memberikan data perencanaan, gambar desain, data personel dan peralatan PT. DGI sekaligus data perusahaan
pendamping, dalam rangka melakukan pengaturan agar PT.DGI mendapatkan proyek tersebut. Selanjutnya, M. Arifin
membuat Harga Perkiraan Sendiri (HPS) yang akan digunakan sebagai dokumen pelelangan dalam Proyek Pembangunan
Wisma Atlet yang mana pada akhirnya PT.DGI dinyatakan sebagai pemenang dengan nilai kontrak sebesar Rp. 191,6 Miliar.
Nazaruddin memerintahkan kepada Mindo Rosalina untuk menanyakan kepada Mohamad El Idris mengenai fee berupa uang
yang akan diberikan kepada pihak-pihak yang dianggap telah membantu dan berjasa dalam memenangkan PT.DGI sebagai
pelaksana proyek. Akhirnya disepakati adanya pemberian fee kepada Nazaruddin sebesar 13% untuk gubernur Sumsel sebesar
2,5% untuk Komite Pembangunan Wisma Atlet sebesar 2,5% untuk Panitia Pelelangan/Pengadaan sebesar 0,5% untuk
Sesmenpora sebesar 2%, sedangkan untuk Mindo Rosalina sebesar 0,2% dari nilai kontrak setelah dikurangi Ppn dan Pph.
Februari — April 2011. Mohamad El Idris kemudian menyerahkan cek senilai Rp.4,7 Miliar kepada Nazaruddin melalui
Yulianis dan Oktarina Furi (keduanya staf bagian keuangan PT. Anak Negeri) sebagai realisasi dari sebagian kesepakatan
pemberian fee sebesar 13%.
1. Jelaskan apa saja bentuk atau jenis korupsi berdasarkan UU
No. 31/1999 Jo UU No 20/ 2001 tentang pemberantasan korupsi!
Berdasarkan UU No. 31/1999 Jo. UU No 20/ 2001 tentang pemberantasan korupsi ada 7 bentuk, yaitu:
a. Kerugian keuangan negara atau perekonomian negara.
b. Penyuapan.
c. Penggelapan jabatan.
d. Perbuatan pemerasan.
e. Perbuatan curang.
f. Perbuatan kepentingan dalam penggandaan.
g. Gratifikasi.
Penjelasan dari setiap bentuk :
a. Kerugian keuangan negara atau perekonomian negara terdapat dalam pasal 2 dan 3.
1) Pasal 2: setiap orang, memperkaya diri sendiri, orang lain, atau suatu korporasi;
dengan cara melawan hukum; dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian
negara.
2) Pasal 3: setiap orang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau
korporasi; menyalahkan kewengan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena
jabatan atau kedudukan; dapat merugikan keungan negara atau perekonomian negara”
b. Penyuapan
1) Terhadap penyelenggaraan negara
Pasal 5 ayat (1) huruf a: setiap orang memberi sesuatu atau menjanjikan sesuatu kepada
pegawai negeri atau penyelenggara negara dengan maksud supaya berbuat atau tidak berbuat
sesuatu dalam jabatannya sehingga bertentangan dengan kewajibannya.
Pasal 5 ayat (1) huruf b: setiap orang memberi sesuatu pegawai negeri atau penyelenggara
negara; karena atau berhubungan dengan sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban,
dilakukan atau tidak dilakukan dalam jabatannya.
2) Memberi hadiah kepada pegawai negeri karena jabatannya
Pasal 13: setiap orang memberi hadiah atau janji kepada pegawai negeri dengan mengingat
kekuasaan atau wewenang yang melekat pada jabatan atau pekerjaannya atau oleh pemberi
hadiah atau janji dianggap melekat pada jabatan atau kedudukan tersebut.
3) Pegawai negeri menerima suap
Pasal 5 ayat (2): pegawai negeri atau penyelenggara negara menerima pemberian atau janji
sebagaimana dimaksudkan dalam pasal 5 ayat (1) huruf a atau huruf b
Pasal 12 huruf a: pegawai negeri atau penyelenggara negara menerima hadiah atau janji
diketuhinya bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk menggerakannya agar
melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatananya yang bertentangan dengan
kewajibannya; patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk menggerakannya
agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatanya yang bertentangan dengan
kewajibannya.
4) Pegawai negeri menerima suap
Pasal 12 huruf b: pegawai negeri atau penyelenggara negara menerima hadiah diketahuinya
bahwa hadiah tersebut diberikan sebagai akibat atau karena telah melakukan atau tidak
melakukan sesuatu dalam jabatannya yang betentangan dengan kewajibannya.
5) Pegawai negeri menerima hadiah yang berhubungan dengan jabatannya
Pasal 11: pegawai negeri atau penyelenggara negara menerima hadiah atau janji diketahuinya patut diduga
bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan karena kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan dengan
jabatannya dan menurut pikiran orang yang memberikan hadiah atau janji tersebut atau berhubungan dengan
jabatannya.
6) Penyuapan terhadap hakim dan advokat
Pasal 6 ayat (1) huruf a: setiap orang memberi atau menjajanjikan sesuatu kepada hakim dengan maksud untuk
mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili.
Pasal 6 ayat (1) huruf b: setiap orang memberi atau menjanjikan sesuatu kepada advokat yang menghadiri
sidang pengadilan; dengan maksud untuk mempengaruhi nasihat atau pendapat yang akan diberikan berhubung
dengan perkara yang diserahkan kepada pengadilan untuk diadili.
Pasal 6 ayat (2): hakim menerima suap yang menerima pemberian atau janji. Sebagaimana dimaksud dalam
pasal 6 ayat (1) huruf a atau huruf b.
Pasal 12 huruf c (hakim menerima suap): hakim menerima hadiah atau janji diketahui atau patut diduga bahwa
hadiah atau janji tersebut diberikan untuk mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk
diadili.
Pasal 12 d (advokat menerima suap): advokat yang mengahdiri sidang di pengadilan menrim hadiah atau janji
diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut untuk mempengaruhi nasihat atau pendapat yang
akan diberikan berhubungan dnegan perkara yang diserahkan kepada pengadilan untuk diadili.
c. Penggelapan dalam jabatan
Pasal 8: pegawai negeri menggelapkan uang atau membiarkan penggelapan.
Pasal 9: pegawai negeri memalsukan buku untuk pemeriksaan administrasi.
Pasal 10 huruf a: pegawai negeri merusakkan bukti.
Pasal 10 huruf b: pegawai negeri membiarkan orang lain merusakkan bukti.
Pasal 10 huruf c : pegawai negeri memabantu orang lain merusakkan bukti.
d. Perbuatan pemerasan
Pasal 12 huruf e: pegawai negeri atau penyelenggara negara; dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau
orang lain; secara melawan hukum; memaksa seseorang memberikan sesuatu, membayar, atau menerima
pembayaran dengan potongan, atau untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya. Menyalahgunakan kekuasaan.
Pasal 12 huruf f: pegawai negeri atau penyelenggara negara; pada waktu menjalankan tugas; meminta,
menerima, atau memotong pembayaran; kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara yang lain atau
kepada kas umum; seolah-olah pegawai negeri atau penyelenggara negara yang lain atau kas umum
mempunyai hutang kepadanya. Diketahuinya bahwa hal tersebut bukan merupakan hutang.
Pasal 12 huruf g: pegawai negeri atau penyelenggara negara; pada waktu menjalankan tugas; meminta atau
menerima pekerjaan, atau penyerahan barang; seolah —olah merupakan hutang kepada dirinya; diketahuinya
bahwa hal tersebut bukan merupakan hutang.
e. Perbuatan curang
Pasal 7 ayat 1 huruf a: pemborong berbuat curang.
Pasal 7 ayat 1 huruf b : pengawas proyek membiarkan perbuatan curang.
Pasal 7 ayat 1 huruf c dan d : rekanan TNI/POLRI berbuat curang.
Pasal 7 ayat 2 : membiarkan perbuatan curang.
Pasal 12 huruf h: pegawai negeri menyerobot tanah negara sehingga merugikan orang lain
f. Benturan kepentingan dalam pengadaan
Pasal 12 huruf i: pegawai negeri atau penyelenggara negara; dengan sengaja; langsung atau tidak langsung turut
serta dalam pemborongan, pengadaan, atau persewaan; pada saat dilakukan perbuatan, untuk seluruh atau
sebagian ditugaskan untuk mengurus atu mengawasinya.
Dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun dan
pidana denda paling sedikit 200 juta dan paling banyak 1 M.
g. Gratifikasi
Pasal 12 B jo Pasal 12 C
Pasal 12B ayat 1: setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian
suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya, dengan
ketentuan sebagai berikut :
Yang nilainya Rp 10 juta atau lebih, pembuktian bahwa gratifikasi tersebut bukan merupakan suap
dilakukan oleh penerima grativikasi;
Yang nilainya kurang dari Rp 10 juta pembuktian bahwa gratifikasi tersebut suap dilakukan oleh penuntut
umum.
Menurut penjelasan gratifikasi pasal 12 B UU No. 20 Tahun 2001
Pemberian dalam arti luas, yakni meliputi pemberian uang, barang, rabat (discount), komisi, pinjaman
tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wista, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas
lainnya.
Pengecualian
Undang-undang No. 20 Tahun 2001 Pasal 12 C ayat 1: Ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 12 B ayat 1 tidak berlaku, jika penerima melaporkan gratifikasi
yang diterimnya kepada Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
2. Apakah dalam kasus tersebut terjadi suap, gratifikasi
dan atau pemerasan?
Dalam kasus tersebut terjadi gratifikasi karena Nazaruddin memerintahkan kepada
Mindo Rosalina untuk menanyakan kepada Mohamad El Idris mengenai fee
berupa uang yang akan diberikan kepada pihak-pihak yang dianggap telah
membantu dan berjasa dalam memenangkan PT. DGI sebagai pelaksana proyek.
Akhirnya disepakati adanya pemberian fee kepada Nazaruddin sebesar 13% untuk
gubernur Sumsel sebesar 2,5% untuk Komite Pembangunan Wisma Atlet sebesar
2,5% untuk Panitia Pelelangan/Pengadaan sebesar 0,5% untuk Sesmenpora
sebesar 2%, sedangkan untuk Mindo Rosalina sebesar 0,2%. Dari kasus tersebut
dengan tujuan untuk pemberian hadiah.
3. Jelaskan persamaan dan perbedaan gratifikasi, suap, dan pemerasan?
Indikator Suap Gratifikasi Pemerasan
Definisi Penyuapan adalah bentuk pemberian yang Pemberian dalam arti luas, yakni Pegawai negeri dan penyelenggara
dilakukan oleh korporasi atau pihak meliputi pemberian uang, barang, negara (berperan aktif) melakukan
swasta berupa pemberian barang, uang, rabat (discount), komisi, pinjaman pemerasan kepada orang atau
janji, dan bentuk lainnya yang bertujuan tanpa bunga, tiket perjalanan korporasi tertentu yang
untuk mempengaruhi pengambilan fasilitas penginapan, perjalanan memerlukan pelayanan.
keutusan dari pihak penerima suap. wisata, pengobatan cuma-cuma,
dan fasilitas lainnya.
Tujuan Mempengaruhi pengambilan keputusan. Pemberian hadiah, dll. Pemerasan sering dijadikan alasan
bagi pihak pemberi sebagai dalih
pemberian.
Bentuk Memberi sesuatu atau menjanjikan sesuatu Pemberian uang, barang, rabat Menguntungkan diri sendiri atau
korupsi kepada pegawai negeri atau penyelenggara (discount), komisi, pinjaman tanpa orang lain; secara melawan hukum;
negara dengan maksud supaya berbuat bunga, tiket perjalanan, fasilitas memaksa seseorang memberikan
atau tidak berbuat sesuatu dalam penginapan, perjalanan wista, sesuatu, membayar, atau menerima
jabatannya sehingga bertentangan dengan pengobatan cuma-cuma, dan pembayaran dengan potongan, atau
kewajibannya, memberi hadiah kepada fasilitas lainnya. untuk mengerjakan sesuatu bagi
pegawai negeri karena jabatannya, dirinya, menyalahgunakan
pegawai negeri menerima suap, penyuapan kekuasaan.
terhadap hakim dan advokat
Peraturan Pasal 3 UU 3/1980 UU No. 31/1999 Jo. UU No UU No. 31/1999 Jo. UU No
UU No. 31/1999 Jo. UU No 20/ 2001 20/ 2001 tentang 20/ 2001 tentang
tentang pemberantasan korupsi pemberantasan korupsi pemberantasan korupsi
Pasal 5 ayat (1) huruf a dan b Pasal 12 B jo Pasal 12 C Pasal 12 huruf e, f, g
Pasal 5 ayat (2) UU No. 30 tahun 2002
Pasal 6 ayat (1) huruf a dan b tentang komisi pemberantasan
Pasal 6 ayat (2) korupsi (UU Pemberantasan
Pasal 11 Tipikor).
Pasal 12 huruf a, b, c, d
Pasal 13
Sanksi Pidana penjara paling singkat 1 (satu) Pasal 12B ayat (2) UU No. Pasal 12 E UU No. 31/1999
tahun dan paling lama 5 (lima) tahun 31/1999 jo UU No. 20/2001 jo UU No. 20/2001
dan atau pidana denda Rp. 50.000.000, Pidana penjara seumur Pidana penjara seumur
00 (lima puluh juta rupiah) dan paling hidup atau penjara paling hidup atau penjara paling
banyak Rp. 250.000.000,00 (dua ratus singkat 4 tahun dan paling singkat 4 tahun dan paling
lima puluh juta rupiah). (pasal 11 UU lama 20 tahun dan pidana lama 20 tahun dan pidana
Pemberantasan Tipikor). denda paling sedikit Rp 200 denda paling sedikit Rp 200
juta dan paling banyak Rp. juta dan paling banyak Rp.
1 miliar. 1 miliar.
4. Jelaskan mengapa pemahaman tentang pengelolaan,
pengaturan gratifikasi penting untuk tenaga kesehatan?
Kementerian Kesehatan RI pernah menerbitkan Peraturan Menteri Kesehatan RI
Nomor.14 tahun 2014 tentang Pengendalian Gratifikasi di Lingkungan
Kementerian Kesehatan. Di dalam Permenkes ini, gratifikasi dibagi menjadi dua
kategori, yaitu :
a. Gratifikasi yang Dianggap Suap
b. Gratifikasi yang Tidak Dianggap Suap
Pada pasal 4 disebutkan Gratifikasi yang dianggap Suap :
1) Marketing fee atau imbalan yang bersifat transaksional yang terkait
dengan pemasaran suatu produk.
2) Cashback yang diterima instansi yang digunakan untuk kepentingan
pribadi.
3) Gratifikasi yang terkait dengan pengadaan barang dan jasa, pelayanan
public, atau proses lainnya.
4) Sponsorship yang terkait dengan pemasaran atau penelitian suatu
produk.
2) Tidak terkait kedinasan, tidak terbatas pada :
a) Orang lain yang memiliki hubungan keluarga, yaitu kakek/nenek,
bapak/ibu/mertua, suami/istri, anak/menantu, cucu, besan, paman/bibi,
kakak/adik/ipar, sepupu, dan keponakan, sepanjang tidak mempunyai konflik
kepentingan dengan penerima gratifikasi.
b) Orang lain yang terkait dengan acara pernikahan, keagamaan, upacara adat,
kelahiran, aqiqah, baptis, khitanan, dan potong gigi tidak ada batasan nilai
tertinggi, sepanjang tidak memiliki konflik kepentingan dan dilaporkan kepada
KPK dan setelah dilakukan verifikasi dan klarifikasi dinyatakan tidak
dianggap suap.
c) Pemberi dari instansi atau unit kerja yang berasal dari sumbangann bersama
kepada aparatur Kemenkes selain upacara sebagaimana dimaksud pada point
di atas yang dilaporkan kepada KPK dan setelah dilakukan verifikasi dan
klarifikasi dinyatakan tidak dianggap suap.
d) Atasan kepada bawahan aparatur Kemenkes sepanjang tidak menggunakan
anggaran Negara.
e) Orang lain termasuk sesama aparatur Kemenkes/Lembaga terkait dengan acara perayaan
menyangkut kedudukan atau jabatannya seperti pisah sambut, promosi jabatan, memasuki
masa pensiun yang dilaporkan kepada KPK dan setelah dilakukan verifikasi dan klarifikasi
dinyatakan tidak dianggap suap.
f) Orang lain termasuk sesama aparatur Kemenkes yang terkait dengan musibah atau
bencana yang dialami oleh penerima gratifikasi atau keluarganya sepanjang tidak
mempunyai konflik kepentingan dengan penerima Gratifikasi.
g) Orang lain berupa hadiah, hasil undian, diskon/rabat, voucher, point rewards atau
souvenir yang berlaku umum.
h) Orang lain berupa hidangan atau sajian yang berlaku umum.
i) Prestasi akademis atau non akademis yang diikuti dengan menggunakan biaya sendiri
seperti kejuaraan, perlombaan atau kompetisi.
j)Keuntungan atau bunga dari penempatan dana, investasi atau kepemilikan saham pribadi
yang berlaku umum.
k) Kompensasi atau penghasilan atas profesi yang dilaksanakan pada saat jam kerja, dan
mendapatkan ijin tertulis dari atasan langsung dan atau pihak lain yang berwenang.
5. Siapa saja pihak yang terlebat dalam
kasus tersebut?
Muhammad Nazaruddin, Angelina Sondakh (anggota badan anggaran
dr komisi X DPR RI) , Mindo Rosalina Manulang (Marketing PT.
Anak Negeri) ,Wafid Muharam selaku Sekretaris Menteri Pemuda dan
Olah Raga (Sesmenpora), Muhammad El Idris (Manajer Marketing
PT.DGI) , Rizal Abdullah selaku Ketua Komite Pembangunan Wisma
Atlet Palembang Sunsel, M. Arifin selaku ketua Panitia Pelelangan
Pengadaan Barang/Jasa Kegiatan Pembangunan Wisma Atlet di
Palembang Sumsel ,Yulianis dan Oktarina Furi (keduanya staf bagian
keuangan PT. Anak Negeri).
6. Jelaskan apa yang menjadi penyebab
terjadinya kasus tersebut?
Penyebab terjadinya kasus tersebut adalah Nazarudin sebegai anggota dari Komisi X
DPR RI yang mempunyai ruang lingkup kerja dibagian pendidikan, olahraga, sejarah ,
dan pasangan kerja dari Komisi X DPR RI antara lain Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan, Kementerian Pariwisata, Kementerian Pemuda dan Olahraga, Perpustakaan
Nasional ,Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Bidang Pendidikan
Tinggi), Badan Ekonomi Kreatif. Dalam kasus ini Wafid Muharam selaku Sekretaris
Menteri Pemuda dan Olah Raga (Sesmenpora). Kasus tersebut Nazarudin (anggota
Komisi X DPR RI) mempunyai celah / peluang dengan beberapa pihak terkait untuk
memenangkan PT DGI sebagai pemenang tender yang dilelang. Karena keterkaitan
hubungan kerja sehingga kasus tersebut dapat terjadi
7. Apa dampak dari kasus tersebut. Kaitkan
dengan dampak biaya sosial korupsi?
Dampak dari kasus tersebut yaitu merugikan negara dengan
alasan pendanaan pembangunan Wisma Atlet berkurang yang
dikarenakan dana yang seharusnya digunakan untuk
pembangunan Wisma Atlet diselewengkan dan diberikan
kepada perorangan untuk kepentingan pribadi sehingga
pembangunan Wisma Atlet tidak dapat diselesaikan.
Kesimpulan
Segala tindakan korupsi apapun jenisnya tidak boleh dilakukan oleh siapaun. Tindakan
korupsi berdasarkan kasus tersebut merupakan bentuk korupsi gratifikasi yang
berdampak pada kerugian keuangan negara. Pelaku tindakan korupsi harus mendapatkan
hukuman sesuai dengan aturan yang ada karena telah menggunakan kekuasaan dan
kesempatan utnuk melakukan korupsi.
Pemahaman tentang pengelolaan dan pengaturan gratifikasi untuk semua warga negara
Indonesia khususnya tenaga kesehatan sangat penting karena di setiap pekerjaan akan
berisiko terjadinya tindakan korupsi. Adanya kemauan dan kesempatan dapat
mempengaruhi seseorang untuk melakukan korupsi. Hal ini tidak boleh dibiarkan
sehingga perlu adanya peningkatan kesadaran dan pemahaman bahwa tindakan korupsi
adalah tindkaan yang merugikan banyak pihak.
Saran
1. Diharapkan bagi pemerintah di Indonesia lebih tegas dalam
menegakkan hukum tentang tindak pidana korupsi.
2. Diharapkan para pejabat di pemerintahan harus bertindak jujur.
3. Diharapkan semua warga negara mampu meningkatkan
pemahaman tentang korupsi sehingga dapat meingkatkan kesdaran
untuk tidak melakukan korupsi.
DAFTAR PUSTAKA
1. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999
Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
2. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001
Tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999
Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
3. Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor.14 tahun 2014 tentang
Pengendalian Gratifikasi di Lingkungan Kementerian Kesehatan.

You might also like