Professional Documents
Culture Documents
Di hampir semua propinsi pada setiap kelompok berisiko tinggi, cenderung meningkat terus seperti terlihat dalam
gambar 5, prevalensi HIV meningkat pada wanita penjaja seks yang sebenarnya bisa dicegah dengan meningkatkan
penggunaan kondom terhadap pelanggan.
Pada gambar di atas terlihat bahwa prevalensi HIV
pada pengguna NAPZA suntik di Indonesia, berkisar
antara 24,5% sampai 53%, yaitu DKI Jakarta 40%,
Denpasar 53%, dan Bogor 24,5%.
Demikian juga prevalensi HIV pada pengguna NAPZA
suntik meningkat tajam dari tahun ke tahun, yang
sebenarnya dapat dicegah dengan tidak menggunakan
jarum suntik bersama atau menggunakan jarum suntik
yang steril.
Pada narapidana di Jakarta Pusat dan Jakarta Timur prevalensi HIV juga meningkat
sejak tahun 1999 yang kemungkinan besar di antara mereka adalah pengguna
NAPZA suntik yang nantinya mereka akan kembali ke masyarakat.
“ Bukan hanya kelompok
berperilaku risiko tinggi saja
prevalensi HIV cenderung
meningkat. Di banyak negara,
darah donor bisa dianggap
mewakili populasi umum. Di
Indonesia tingkat prevalensi HIV
pada darah donor memang rendah
tetapi seperti terlihat pada gambar
8 meningkat tajam dalam waktu 2
tahun.
13
▹
“
Pada gambar 9, laki-laki yang melakukan hubungan seksual tidak terlindung dengan wanita
penjaja seksual, tidak hanya menyebabkan diri mereka berisiko tinggi, tetapi juga
menyebabkan isteri, pacar, pasangan seksual lain, dan bayi-bayi mereka berisiko tinggi pula
untuk tertular HIV atau IMS lain.
▹ Hampir separuh dari 1.600 lebih responden laki-laki di tiga kota melaporkan membeli jasa
pelayanan seksual di tahun sebelumnya, dan tujuh dari sepuluh pernah melakukannya
sepanjang umur mereka. Tak terdapat bukti bahwa laki-laki menurunkan konsumsi hubungan
seksual komersialnya karena takut menderita AIDS. Jelas juga mereka tidak melindungi
dirinya
sendiri maupun keluarganya atau pasangan lain, karena 9 dari 10 pelanggan penjaja seks
tidak selalu menggunakan kondom dalam hubungan berisiko tinggi ini.
“
Pada gambar 10 terlihat pengetahuan tentang penggunaan
kondom dapat mencegah HIV cukup tinggi baik pada WPS
maupun pelanggan akan tetapi perilaku penggunaan kondom
masih sangat rendah. Jadi dari sini dapat dikatakan bahwa
pengetahuan sendiri tidak cukup merubah perilaku
seseorang, perlu juga ditingkatkan pelayanan misalnya
penyediaan kondom yang mudah didapat sewaktu-waktu
diperlukan, pelayanan diagnosis dan pengobatan IMS.
biologis psikologis sosial kultural
Aspek Biologis
Secara imunologis, sel T yang terdiri dari limfosit T-helper, disebut
limfosit CD4+ akan mengalami perubahan baik secara kuantitas maupun
kualitas. HIV menyerang CD4+ baik secara langsung maupun tidak
langsung. Secara langsung, sampul HIV yang mempunyai efek toksik akan
menghambat fungsi sel T (toxic HIV). Secara tidak langsung, lapisan luar
protein HIV yang disebut sampul gp 120 dan anti p24 berinteraksi dengan
CD4+ yang kemudian menghambat aktivasi sel yang mempresentasikan
antigen (APC).
Aspek Psikologis
Mengucilkan diri, Merasa cacat dan tidak berguna, menutup diri, Khawatir
menginfeksi orang lain, murung
Membuka status secara terbatas, Ingin tahu reaksi orang lain, pengalihan
stres, ingin dicintai Penolakan, stres, konfrontasi
Mencari orang lain yang HIV positif Berbagi rasa, pengenalan, kepercayaan,
penguatan, dukungan sosial Ketergantungan, campur tangan, tidak percaya
pada pemegang rahasia dirinya
Aspek Psikologis
Respons Psikologis (penerimaan diri) terhadap Penyakit Kubler „Ross (1974)
menguraikan lima tahap reaksi emosi seseorang terhadap penyakit, yaitu.
Pengingkaran (denial) Pada tahap pertama pasien menunjukkan
karakteristik perilaku pengingkaran, mereka gagal memahami dan
mengalami makna rasional dan dampak emosional dari diagnosa.
Pengingkaran ini dapat disebabkan karena ketidaktahuan pasien terhadap
sakitnya atau sudah mengetahuinya dan mengancam dirinya.
Aspek Psikologis
Kemarahan (anger) Apabila pengingkaran tidak dapat dipertahankan lagi,
maka fase pertama berubah menjadi kemarahan. Perilaku pasien secara
karakteristik dihubungkan dengan marah dan rasa bersalah. Pasien akan
mengalihkan kemarahan pada segala sesuatu yang ada disekitarnya.
Sikap tawar menawar (bargaining) Setelah marah-marah berlalu, pasien akan
berfikir dan merasakan bahwa protesnya tidak ada artinya. Mulai timbul rasa
bersalahnya dan mulai membina hubungan dengan Tuhan, meminta dan
berjanji merupakan ciri yang jelas yaitu pasien menyanggupi akan menjadi
lebih baik bila terjadi sesuatu yang menimpanya atau berjanji lain jika dia
dapat sembuh
Aspek Psikologis
Depresi Selama fase ini pasien sedih/ berkabung mengesampingkan
marah dan pertahanannya serta mulai mengatasi kehilangan secara
konstruktif. Pasien mencoba perilaku baru yang konsisten dengan
keterbatasan baru. Tingkat emosional adalah kesedihan, tidak berdaya,
tidak ada harapan, bersalah, penyesalan yang dalam, kesepian dan waktu
untuk menangis berguna pada saat ini.
Aspek Sosial
Gejala : masalah yang ditimbulkan oleh diagnosis,mis. Kehilangan
karabat/orang terdekat, teman, pendukung rasa takut untuk
mengungkapkannya pada orang lain, takut akan penolakan/kehilangan
pendapatan. Isolasi, keseian, teman dekat ataupun pasangan yang
meninggal karena AIDS. Mempertanyakan kemampuan untuk tetap
mandiri, tidak mampu membuat rencana.
Tanda : perubahan oada interaksi keluarga/ orang terdekat.aktivitas yang
tak terorganisasi.
Aspek Spiritual
Respons Adaptif Spiritual dikembangkan dari konsep Ronaldson
(2000) dan Kauman & Nipan (2003). Respons adaptif Spiritual,
meliputi:
Menguatkan harapan yang realistis kepada pasien terhadap
kesembuhan
Harapan merupakan salah satu unsur yang penting dalam dukungan
sosial. Orang bijak mengatakan “hidup tanpa harapan, akan membuat
orang putus asa dan bunuh diri”. Perawat harus meyakinkan kepada
pasien bahwa sekecil apapun kesembuhan, misalnya akan memberikan
ketenangan dan keyakinan pasien untuk berobat.
Pandai mengambil hikmah
Peran perawat dalam hal ini adalah mengingatkan dan mengajarkan
kepada pasien untuk selalu berfikiran positif terhadap semua cobaan
yang dialaminya. Dibalik semua cobaan yang dialami pasien, pasti ada
maksud dari Sang Pencipta. Pasien harus difasilitasi untuk lebih
mendekatkan diri kepada Sang Pencipta dengan jalan melakukan
ibadah secara terus menerus. Sehingga pasien diharapkan memperoleh
suatu ketenangan selama sakit.
Aspek Spiritual
Ketabahan hati
Karakteristik seseorang didasarkan pada keteguhan dan ketabahan hati dalam
menghadapi cobaan. Individu yang mempunyai kepribadian yang kuat, akan
tabah dalam menghadapi setiap cobaan. Individu tersebut biasanya mempunyai
keteguhan hati dalam menentukan kehidupannya. Ketabahan hati sangat
dianjurkan kepada PHIV. Perawat dapat menguatkan diri pasien dengan
memberikan contoh nyata dan atau mengutip kitab suci atau pendapat orang
bijak; bahwa Tuhan tidak akan memberikan cobaan kepada umatNYA, melebihi
kemampuannya (Al. Baqarah, 286). Pasien harus diyakinkan bahwa semua
cobaan yang diberikan pasti mengandung hikmah, yang sangat penting dalam
kehidupannya.
Aspek Kultural
Faktor budaya berkaitan juga dengan fenomena yang muncul dewasa ini
dimana banyak ibu rumah tangga yang “baik-baik” tertular virus HIV
/AIDS dari suaminya yang sering melakukan hubungan seksual selain
dengan istrinya. Hal ini disebabkan oleh budaya permisif yang sangat
berat dan perempuan tidak berdaya serta tidak mempunyai bargaining
position (posisi rebut tawar) terhadap suaminya serta sebagian besar
perempuan tidak memiliki pengetahuan akan bahaya yang
mengancamnya.
Pemeriksaan Fisik dan Diagnostik pada
Klien dengan HIV/AIDS
28
Pemeriksaan Fisik
● Sistem limfatik: adenopati ● Pemeriksaan Kardiovaskular: meliputi
generalisata, adenopati lokal, atau pemeriksaan peredaran darah tepi
splenomegaly merupakan tanda- ● Pemeriksaan abdomen
tanda infeksi.
● Pemeriksaan musculoskeletal
● Pemeriksaan respiratorik/thoraks:
meliputi pemeriksaan payudara
29
Pemeriksaan Fisik
● Pemeriksaan neurologis meliputi ● Pemeriksaan genitourinaria
pemeriksaan umum fungsi kognitif. pria/wanita: lakukan pemeriksaan
Lakukan pemeriksaan pada cara rektal, prostat, dan pelvis jika
berjalan, gerak, getaran, dan panca terindikasi. Periksa dengan hati-hati di
indera karena pasien bisa saja area anogenital untuk mengetahui
memiliki distal sensory polineuropati. apakah ada PMS seperti condyloma
atau luka herpes.
30
Pemeriksaan Diagnostik
● Imunologi (jumlah sel CD4/CD8); ● kultur gonorrhea/klamidia jika
● uji viral load HIV (PCR HIV); terindikasi.
● pemeriksaan darah lengkap;
● panel multikimia (puasa) meliputi
lemak, trigliserida, kolesterol, dan
glukosa;
● urianalisis dengan mikroskop;
● tes kehamilan dan PAP smear jika
terindikasi;
● peneltian lab penyakit kelamin atau
rapid plasma regain (RPR);
31
Pemeriksaan Diagnostik
● Tuberculin skin testing (PPD) dapat dilakukan jika pasien belum pernah
mendapatkan hasil positif pada tes sebelumnya. Jika pasien punya riwayat positif
PPD, lakukan perawatan isoniazid dan x-ray dada.
● Imunisasi jika terindikasi dan direkomendasi.
● Tes resistensi jika terindikasi, pertimbangkan apakah pasien baru saja terinfeksi.
32
Pemeriksaan Diagnostik
Dilakukan jika belum pernah sebelumnya:
● Antibody hepatitis A; antigen permukaan hepatitis B, antibody permukaan dan
antibody inti; antibody hepatitis C.
● Toxoplasmasis, cytomegalovirus, dan tes antibody varicella.
● Level Glukosa-6-fosfat dehydrogenase (G6PD) untuk meyakinkan tidak ada
kontraindikasi terhadap obat-obatan seperti Septra yang mungkin digunakan
sebagai profilaksis atau pengobatan untuk infeksi oportunistik
33
Referensi
ANAC’s core curriculum for HIV/AIDS nursing / Association of Nurses in AIDS Care;
edited by Barbara Swanson (2010). Massachusetts: Jones and Bartlett Publishers.
PATOFISIOLOGI, DIAGNOSA, &
PENATALAKSANAAN
Nama Kelompok
Sistem Respirasi
Sistem Integumen
Sistem
Pencernaan Infeksi
Oportunistik
Tahap 1
Limfadenofatik, Demam,
Tahap 2
Candidiasis oral Sistem Integumen →
Ruam Bercak Merah
01 02
Tahap 3 Tahap 4
Ensefalopati, Meningitis,
BB turun, Malaise, Diare 03 04 TB Paru, Pneumonia
Tahap 1 HIV
Tahap
2 HIV
Tahap
3 HIV
Tahap 4 HIV
DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Risiko tinggi terhadap infeksi (progresi menjadi sepsis/awitan infeksi opurtunistik) Risiko tinggi
terhadap kekurangan volume cairan
2. Pola nafas tak efektif/ kerusakan pertukaran gas
3. Nutrisi kurang dari kebutuhan
4. Nyeri
5. Kerusakan Integritas kulit (aktual/risiko)
6. Penurunan tingkat aktivitas, perubahan sensasi, malnutrisi ; perubahan status metabolism, lesi kulit,
ulserasi, formasi ulkus dekubitus (aktual.)
7. Perubahan membran mukosa oral
8. Kelelahan
9. Perubahan proses pikir
10. Ansietas
11. Isolasi sosial
12. Intoleransi aktivitas
13. Ketidakberdayaan
14. Kurang pengetahuan mengenai penyakit, prognosis dan kebutuhan pengobatan
PENATALAKSANAAN
Smeltzer, Suzanne C & Brenda G. Bare. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner & Suddarth Edisi 8
Vol 3. Jakarta : EGC.
Zuya Urahman. 2009. Asuhan Keperawatan HIV. (online). available.
http://www.indonesianurse.com/2009/12/14/asuhan-keperawatan-hivaids. 1 maret 2011.